BUNGA
SETAHUN SEHUJAN
Kota Bengawan, Desember 2012
Gerimis bukan lagi gerimis. Angin
yang bertiup pun tak cukup hanya dibilang dingin. Alam beralih peran. Terik
panas yang biasa menghujam kota Bengawan ini pun, lebih memilih untuk menjadi
mendung. Hujan. Saat hitam menggelayuti awan. Dan rerintikan air bergantian
menghujam tanah. Berisik. Suaranya menimpa atap rumah. Penghujung tahun. Ya…
inilah Desember.
♥♥♥
“Ck, hujan lagi.” Keluh seorang
gadis berambut panjang setengah punggung, yang baru saja keluar dari kelasnya.
“Kenapa? Nggak bawa mantol?” tanya
temannya.
“Bukan. Nggak suka aja.”
“Hm?” teman gadis itu melangkah ke
arah balkon kelas yang memang berada di lantai dua.
Kemudian, menengadahkan wajah
menatap langit. Sesekali tangannya merasakan air hujan sambil diulurkan. “Ada
ya, orang yang benci hujan?”
“Ada.” Gadis berambut panjang itu
melangkah meninggalkan temannya, “aku.”
“Emangnya kenapa? Jadi galau yaaa?”
“Aku nggak suka hujan bukan karena
apa-apa.”
|
Bunga
Setahun Sehujan
|
Temannya mengernyitkan kening,
sambil mengikuti langkah gadis itu yang semakin cepat menuruni anak tangga,
“terus? Kenapa, dong? Kamu aneh. Kayak Kugy di novel Perahu Kertas!”
“Hujan itu berisik.”
Desember 2011
“Hobi kok hujan-hujanan! Masuk!
Nanti sakit, terus nggak masuk sekolah! yang repot bukan cuma kamu! Mamah juga
repot!”
Marahan wajar itu keluar dari mulut
seorang ibu setengah baya kepada putrinya yang masih saja di luar rumah meski
hujan mulai deras. Tak tahan dengannya, gadis yang dimarahi itu pun masuk ke
dalam rumah sambil tergopoh-gopoh dan segera mengambil handuk.
“Sekali-kali, biarin deh, Mah. Anak
mamah yang satu ini agaknya belum pernah dibiarin hujan-hujan!” ujarnya, masih
sibuk dengan rambut panjangnya yang kuyub.
“Udah kewajiban seorang ibu mengingatkan
anaknya yang nakal kayak kamu, itu?”
“Tapi, maaah…”
“Nggak ada tapi-tapian. Cepet mandi!
Mamah masakin balado telur kesukaan kamu, nih”
“Asiiiik… makasih mamaaah”
Lila. Gadis periang pecinta hujan.
Bersamanya, ia yakin, bahwa seluruh gundah yang menderanya akan ikut luluh.
Semua bermula saat dirinya SD. Saat itu sudah saatnya pulang, Lila pun sudah
dijemput sang ayah. Namun, berjam-jam ia dan ayahnya menunggu hujan reda di
sekolahnya. Karena Lila yang cerewet itu mulai merajuk, ayahnya bertekat untuk
menembus hujan dan mengayuh sepeda balapnya kencang-kencang agar putrinya tidak
terlalu kebasahan. Walaupun sebenarnya sama saja. Lila tetap basah kuyub. Tapi,
ia sangat menikmatinya. Membonceng ayah dengan sepeda balap dan diguyur hujan
itu menenangkan. Lila suka ketenangan.
Lila menghentikan aktivitasnya
menyalin catatan Kumi, temannya. Akhir-akhir ini ia memang sering kelewatan
banyak materi sekolah karena harus ikut beberapa lomba kesenian di sekolahnya.
Jadi, memang sepintar-pintarnya Lila harus membagi waktu dan mengejar materinya
yang tertinggal. Masih di Desember yang sama, dan di bawah guyuran langit
mendung yang sama, hujan mulai menderas. Lila tersenyum menatap buliran air
hujan yang berebutan menitik di kaca jendelanya. Kalau tidak ingat hari mulai
gelap, ia pasti sudah berlari keluar dan bermain dengan hujan.
“BRAK!!”
Ketenangan Lila buyar, saat suara
meja makan yang digebrak terdengar. Tak lama setelahnya suara ayahnya ikut
menggema seantero rumah mungil Lila. Gadis itu mulai takut. Apalagi saat ibunya
ikut mengadu mulut. Ini kali pertama Lila mendengar pertengkaran orang tuanya.
Pedih. Dan bersamaan dengan air hujan, buliran bening air mata Lila menitik
juga.
Kejadian seperti itu berulang kali
dialami Lila. Hingga gadis itu mulai frustasi. Ia yang menyukai ketenangan
selama belajarnya pun berubah menjadi Lila yang harus menyumpal lubang
telinganya dengan headset dan memutar lagu dengan volume super keras agar
suara-suara orang tuanya itu teredam. Namun, Lila jadi jengah sendiri, ia rindu
ketenangannya dulu ini terlalu berisik. Lubuk hati terdalamnya tidak menyukai
ini.
“Ah!” teriak Lila di kelas, sontak
penghuni kelas yang lain pun terkejut. Untung, Pak Dani baru saja keluar kelas.
“Lil? Kamu ngapain??” tanya Kumi.
“Kenapa hujan lagi sih! Berisik
banget!”
“Hah? Kamu kenapa?”
“Nggak tau. Aku benci hujan. Suara
airnya berisik!”
“Hei, iya oke, kalo kamu nggak suka
hujan, tapi nggak perlu teriak-teriak kayak begini kan?? Kalau Pak Dani dengar
gimana?? Malu juga diliatin…”
“Ck, ah! Kamu juga sama berisiknya!”
Lila tak kuasa menahan emosi. Dibentaknya Kumi. Gadis yang dibentak langsung
menciut, pasalnya sahabatnya itu belum pernah semarah ini. Apalagi untuk urusan
sepele, seperti saat ini. Tapi, bagi Lila ini bukan hal sepele. Kepalanya
sedang benar-benar mau pecah, rasanya. Orang tuanya bertengkar lagi semalam,
dan yang kali ini lebih parah.
“Terserah kamu, Lil. Kalau emang
lagi badmood, jangan nyalah-nyalahin hujan seenaknya sendiri gitu… semuanya
nggak selamanya salah kan? Kamu pun belum tentu benar!”
Diam. Lila menelan bulat-bulat ucapan
Kumi. Menyadari kebodohannya.
♥♥♥
Desember 2012
“Nah, udah reda kan?”
Lila bangun dari lamunannya,
kemudian melepas headset di telinganya. Benar kata Kumi. Hujan sudah reda.
Matahari mulai menyembul, menilik ranah buminya dengan sinar setengah cerah.
Aromanya juga berubah. Agaknya tanah mulai melepas dahaga.
Kedua mata Lila tertuju pada Kumi
yang entah sejak kapan sudah berjongkok di depan green house sekolah.
Memandangi jejeran bunga yang bentuknya menyerupai dandelion. Hanya saja
ukurannya lebih besar dan warnanya kemerahan. Lila tak tahu apa itu, yang ia
yakin, bunga aneh itu tidak mungkin terbang seperti dandelion saat ditiup.
Haha.
“Apaan nih? Siapa yang menanam
beginian? Kamu?” tanya Lila setelah mendekati Kumi.
“Aduuuh, Lilaaa.. kamu nggak up to
date banget sih? Kamu lupa ini bulan apa?”
“Apa? Desember? Terus? Kok kamu
nggak nyambung sama omongan aku sih, Kum?”
“Yee.. Kamu itu yang nggak nyambung!
Sini jongkok! Biar aku jelasin!”
Lila mengikuti perintah Kumi.
“Ini namanya Bunga Desember. Bunga
yang paling paham dengan musim. Dia bahkan tahu betul bulan apa sekarang.”
“Emangnya dia tumbuh sendiri gitu?”
tanya Lila, polos.
“Iya!” jawab Kumi, “bunga ini cuma
tumbuh sekali dalam setahun. Tanpa ada yang menanamnya, Lil. Mereka tumbuh
berjejer rapi. Ya.. di bulan Desember. Sama seperti namanya. Manis, kan?
Menurutku sih, bunga ini istimewa. Penyabar. Dia pasti menunggu-nunggu
datangnya bulan Desember kan? Bunga ini juga membawa kebahagiaan. Setidaknya,
siapapun yang melihat bakal mencelos hatinya. Dan mereka akan berseru senang,
‘akhirnya, bunganya tumbuh!’ kalau aku jadi bunga Desember, pasti bakalan
bahagia banget. Kehadirannya ditunggu-tunggu setiap tahunnya.”
Lila, gadis berambut panjang
setengah punggung itu tidak bergeming mendengarkan ucapan Kumi. Kemudian hati
dan otaknya yang cerdas mulai menyimpulkan.
“Semua akan indah pada saatnya.
Kesabaran selalu berbanding lurus dengan pencapaian. Kesabaran yang tulus akan
membuahkan keberhasilan. Begitu pula sebaliknya. Dan ia yakin, masalah tak
selamanya menjadi masalah. Ada saatnya semua akan berlalu. Seperti hujan di
Bulan Desember yang mengantarkan ke sebuah bunga yang indah.